Wednesday, February 24, 2010

TAKKANCING


Kusebut nestapa alam, nestapa kita;
bukit tak perlu hijau atau luka karena mereka perlu makan dan minum
dalam karung, pupuk ditumpuk bagi yang tumbuh hibrida penuh rekayasa
seperti suntikan pada tubuh muda agar cepat dewasa
injeksi itu mengalir seperti sungai didera hujan terpaksa
tumbuhlah dunia melampau usianya
ditadah tangan-tangan kuasa seakan melebihi kuasa yg maha;
mereka ada di kota dan di Desa
mereka senang melukai kehidupan
mereka hasrat pada kesementaraan
birahi mereka adalah zaman instan.

Ceritera yang turun dari bukit-bukit di hari ini
kita bawa bukan dari mukim kota dan kotak-kotak gedung
melangkah, menuju barisan pohon-pohon tersisi
menempa arti kenangan, tempat dan masa kita pernah akrab untai janji
waktu itu kebun itu masih hijau
waktu itu lembah itu masih berkabut
waktu itu bukit itu masih tegap.

Kesepian kita mungkin karena hutan itu;
ranting pinus yang beku, batangnya diam menghunjam tanah, akarnya menyimak
daunnya tersapu angin membawa berita sunyi dan
kidung penantian pasrah terdengar lamat, sebentar lagi;
waktu-waktu yang datang, menghanguskan, kering, menghitam dan terbakar
karena mereka, kemarau itu selalu tiba
di hutan ini.

Diriku…
Bunga rampai dijalin dari serpihan kesadaran nurani
Kita sampaikan kata berpikir
Yang bepikir ada di pusat diri
Kita dan dia sama saja
Dia hijau, langit biru dan jernih air, kita yang berbudaya dan beradab
Berasal dari zat yang sama agung
Cintailah!
Karena dengan mencintainya engkau akan memahaminya.

…Kata temanku kebun teh itu telah berubah semak.

C395A, 2/23/10

No comments:

Post a Comment